Senin, 06 Maret 2017

Ulumul Qur'an_MEMAHAMI QIRO’AT DALAM AL-QUR’AN



MEMAHAMI QIRO’AT DALAM AL-QUR’AN
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu : Dr. H. Hamdani Mu’in, M.Ag



Disusun Oleh :
1.      Muhamad Khoirus S.  1403026045
2.      Fita Wahyu Rosyidah 1403026070
                                                                              


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai macam nikmat sehingga aktivitas yang kita jalani selama ini akan selalu membawa keberkahan baik kehidupan di alam dunia ini, lebih-lebih lagi kehidupan di akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terimakasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada dosen serta teman- teman yang telah membantu baik bantuan berupa moril maupun materil sehingga makalah ini terselesaikan pada waktu yang telah di tentukan.
            Kami menyadari sekali di dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna, baik dari segi bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian kepada dosen dan teman-teman yang kadangkala hanya menuruti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah kami ini di lain waktu.
            Harapan yang paling besar dalam pembuatan makalah kami ini adalah mudah-mudahan makalah yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman serta orang lain dan semoga makalah kami ini sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Semarang,10 Maret 2015


Penulis











BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Quran adalah kitab suci umat islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ulumul Quran telah memberi pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran, baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Quran maupun dari segi pemahamannya terhadap petunjuk yang terkandung didalamnya.
Jadi, mempelajari Ulumul Qur’anmenuntut pengetahuan yang lebih mendetail tentang berbagai dimensi pembentukan dan pendukung kehidupan itu sendiri. Upaya pemahaman dengan memulai dari pemahaman tentang dimensi tertentu, bukan berarti melupakan keseluruhan tubuh tersebut.Ia akan mendukung pemahaman secara keseluruhan terhadap totalitas sesuatu yang saling menunjang dalam kerangka menemukan jaringan-jaringan antar dimensi.
Penyusunan makalah ini selain memenuhi tugas dalam pembahasan materi Ulumul Qur’an, juga diharapkan mampu memberi kesegaran dalam pembahasan materi, yang minimal dikuasai oleh mahasiswa.
Akhirnya, semoga apa yang tersaji dalam makalah ini memberi manfaat bagi kita semua, paling tidak sebagai khazanah intelektual di negeri ini.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah munculnya Qira’at ?
2.      Apa yang dimaksud Qira’at sab’ah dan lainnya ?
3.      Bagaimana Implikasi Qira’at ?


C.    TUJUAN
1.      Mengetahui sejarah munculnya Qira’at
2.      Mengetahui Qira’at sab’ah dan lainnya
3.      Mengetahui Implikasi Qira’at




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Munculnya Qira’at
Qira’at adalah bentuk jamak dari qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan.Secara istilah, Al-Zarqani mengemukakan definisi Qira’at sebagai berikut :
مَدْهَبٌ يَدْ هَبُ اِلَيْهِ اِمَامٌ مِنْ اَئِمَّةِ الْقُرَّاءِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ فِى النُّطْقِ بِالْقُرْاَنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَيَاتِ وَالطُّرُقِ عَنْهُ سَوَاءٌ كَا نَتْ هَذِهِ الْمُخَا لَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ اَمْ فِى نُطْقِ هَيْئَا تِهَا
Suatu mazhab yang di anut oleh seorang iman qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an Al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya “
Defisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama menyangkut bacaan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, karena perbedaan dari satu imam dengan imam lainnya. Kedua cara bacaan yang dianut dalam satu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas dan ijtihad. Ketiga perbedaan antara qira’at bisa terjadi dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapanya dalam berbagai keadaan.
Bangsa arab yang terdiri dari beberapa macam kabilah, secara garias besar terdiri dari dua kelompok yaitu yang berada di pedesaan (baduwi) dan perkotaan. Dua kelompok kabilah besar ini mempunyai dialek yang berbeda. Dalam kondisi itulah Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Menghadapi hal ini. Nabi saw. Meminta kepada Allah supaya meringankan membaca Al-Qur’an. Lalu turunlah hadits “ al-Ahruf as-sab’ah ”
انّ هذا القران أنزل على سبعة أحرف فاقرأوا ما تيسر منه
" Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah darinya “
Dengan peringatan ini Nabi mengajar Al-Qur’an kepada para sahabat dengan berbagai macam versi tersebut. Pada masa sahabat munculah ahli baca Al-Qur’an yang masyhur yang menjadi panutan masyarakat, tokoh-tokoh tersbut antara lain : Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Abu Musa Al-Asy’ari. Merekalah yang menjadi sumber bacaan bagi sebagian sahabat dan tabi’an.
Kemudian pada masa tabi’in, segolongan masyarakat mengkhususkan diri dalam penentuan bacaan Al-Qur’an. Mereka menjadikan qira’at sebagai disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana mereka lakukan terhadap syariat yang lain. Pada akhirnya mereka menjadi imam-imam qira’at yang dianut oleh banyak kalangan. Menghadapi masalah ini akhirnya pada akhir abad kedua hijriah, para ulama ahli Al-Qur’an melakukan kegiatan menyeleksi dan menguji kebenaran qira’at yang diakui sebagai bacaan Al-Qur’an. Pengujian tersebut dilakukan dengan memakai kaidah dan kriteria yang telah disepakati oleh ahli qir’at.
Suatu qira’at baru dianggap shahih apabila memenuhi tiga persaratan :
1.      Harus mempunyai sanad yang mutawatir
2.      Harus cocok dengan Rasm Utsman
3.      Harus cocok dengan kaidah bahasa arab
Dari pengujian yang dilakukan oleh pakar qira’at, diputuskan bahwa suatu qira’at bila ditinjau dari segi nilai sanad-nya akan terbagai menjadi enam tingkatan :
1.      Mutawatir yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang cukup banyak pada setiap tingkatan dari awal sampai akhir dan tersambung sampai Rasulullah saw.
2.      Masyhur yaitu qira’at yang mempunyai sanad yang shahih, tetapi jumlah perawinya tidak sebanyak mutawatir.
3.      Ahad yaitu qira’at yang mempunyai sanad yang shahih tetapi tidak cocok dengan Rasm Utsmani.
4.      Syad yaitu qira’at yang tidak mempunyai sanad yang shahih atau tidak memenuhi tiga syarat sah untuk diterima.
5.      Mudraj yaitu qira’at yang disisipkan kedalam Al-Qur’an.
6.      Maudlu yaitu qira’at buatan yakni disandarkan kepada seseorang tanpa sadar, serta tidak mempunyai sanad dan rawi.
Dalam rangka memberi penghargaan kepada tujuh imam qira’at dan untuk memudahkan ingatan, maka nama-nama mereka diabadikan sebagi nama suatu bacaan seperti Qira’at Nafi’ dan sebagainya :
Ketujuh nama tersebut :
1.      Madinah, Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim (w. 169 H)
2.      Makkah, Imam Abdullah bin Kastir (w. 120 H)
3.      Bashrah, Imam Abu Amr bin Al-‘Ala (w. 254 H)
4.      Syam, Imam Abdullah bin Amir (w. 118 H)
5.      Kufah, Imam ‘Ashim bin Abin Najud (w. 127 H)
6.      Kufah, Imam hamzah bin Habib (w. 154 H)
7.      Kufah, Imam Ali Al-Kisa’a (w. 189 H0)
Berangkat dari hal diatas, ilmu qira’at akhirnya mampu berkembang ke masyarakat. Perkembangan tersebut tidak lepas dari perjuangan para ulama qira’at yang keilmuanya dapat dipertanggung jawabkan. Mereka itulalah yang akhirnya dipilih sebagai ahli qira’at dan bacaannya terabadikan hingga saat ini yang disebut qira’at sab’ah, qira’at ‘asyr dan arba’ah asyr.
B.     Qira’at Sab’ah dan lainnya
Qira’at mungkin terlintas dalam benak orang tentang qira’at itu ada tujuh. Orang memahami sabda nabi yang berbunyi “ Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf “. Artinya tujuh bentuk bahasa yang berbeda-beda dalam Al-Qur’an. Umar bin khatab pernah mengatakan, “ Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa madhar “. Bilamana kita kembali menghitung kabilah-kabilah Madhar, maka disini kita dapati tujuh kabilah yaitu : Huzail, Kinanah, Qis, Dhabah, Taimuribah, Asad bin Khuzaimah dan Quraisy.
Perbedaan yang terdapat pada taip-tiap bahasa itu tidak menjadi halangan. Rasulullah sendiri yang memberitahukan  ketujuh bahasa ini terdapat dalam Al-Quran namun pemberitahuan ini tidak di perinci. Yang merinci itu ialah para mujtahidin-mujtahidin dalam ijtihatnya.
Orang Quraisy membaca Al-Qur’an dengan bahasanya, dan yang lain pula menggunakan bahasanya sendiri. Abu Syamah mengatakan apa yang dikutipnya dari beberapa Syah, katanya Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Quraisy. Kemudian diperbolehkan bagi orang arab membaca dengan bahasanya sendiri-sendiri.
Kebanyakan orang mengatakan, asal-usul kabilah arab terhenti pada tujuh. Bahasa yang fasih hanya tujuh. Ada pula yang mengatakan “ pada hakikatnya yang dimaksud dengan tujuh itu bukan bilangan “. Tapi yang dimaksud disini adalah kelapangan dan kemudahan. Karena tidak ada kesulitan bagi orang dalam membaca dengan bahasa apapun yang digunakan. Sebab dalam hal ini Allah sendiri yang mengizinkannya
Meluasnya wilayah islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan Al-Qur’an diberbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qira’at. Perbedaaan antara satu qira’at dan lainya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya sudah tidak dapat lagi dipertanggung jawabkan. Para ulama menulis qira’qt-qira’at ini dan sebagainya menjadi masyhur sehingga lahirnya istilah Qira’at tujuh, Qira’at sepuluh dan empat belas.
“Qira’at tujuh” adalah qira’at yang dibangsakan kepada tujuh orang imam qira’at yang masyhur yaitu : Nafi’ Al-Madani (w. 169 H), Ibnu Katsir Al-Maliki (w. 120 H), Abu Amr bin Al-Ala’ dan Ibnu Amir Al-Dimisyqi (w. 118 H), Ashim bin Abi Al-Nujud Al-Kufi (w.127 H), Hamzah bin Habib Al-Zayyat (w. 156 H), dan Al-Kisai (w. 189 H). “Qira’at sepuluh”adalah qira’at yang tujuh ini ditambah dengan Abu Ja’far (w. 130 H), Ya’qub Al-Hadhrami (w. 205 H), Khalaf bin Hisyam Al-Bazzar (w. 299H). Sedangkan “Qira’at empat belas” adalah qira’at yanf sepuluh ditambah dengan Ibnu Muhaisin (w. 123 H), Al-Yazidi (w. 202 H), Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H) dan Al-Amsy (w. 148 H). “Qira’at syadzdzah” namun bacaan ini asing dan tidak umum.

C.    Implikasi Qira’at
Dalam konteks perbedaan qira’at harus diletakan pada pembelajaran manusia agar mampu learning to live together. Karena adanya perbedaan qira’at maka sedikit banyak membawa implikasi hukum yang berbeda pada akhirnya membawa polarisasi dalam masyarakat. Dalam hal ini Al-Zakarsyi[1] bahwa dengan perbedaan qira’at muncullah perbedaan dalam hukum. Seperti halnya hukum batal dan tidaknya wudhu orang yang disentuh (bukan mahram) atas dasar qira’at “kamu sentuh“ لمستم   dan “kamu saling menyentuh”   لامستم (Qs. An-Nisa 43).
Menurut Ibnu Mujahid,bahwa Ibn kasir, Nafi’, ‘Ashim, Abu Amr dan Ibn ‘Amr membacanya   لامستم النساء  sedangkan Hamzah dan Al-Kisa’i membacanya dengan   لمستم النساء.[2] Dalam I’rabul Qur’an di jelaskan bahwa  لمستم النساء   ada tiga macam pendapat ulama tentang maknanya yaitu : hubungan seksual, bersetubuh, bersetubuh dan berhubungan seksual.
Menurut mazhab hanafi dan Maliki bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak muhrim tidak membatalkan wudhu. Sebab menurut Hanafi   لامستمberarti hubungan seksual dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan nafsu birahi.
Menurut mazhab Syafi’i bersentuh akan membatalkan wudhu baik yang menyentuh atau yang disentuh.[3]
Dalam Mafatih Al-Ghaib disebutkan, menurut Ibn Abbas, Al-Hassan, Mujahid, Qatadah dan Abu Hanifa bahwa yanhg dimaksud لامستم  adalah hubungan seksual. Sedangkan Ibn Mas’ud, Ibn Umar, Al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersentuh kulit baik dalam bersetubuh maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi menguatkan pendapat terakhir, karena makna hakiki dari  لمس adalah menyentuh dengan tangan. Sekalipun menurut Al-Qasimy dapat artikan “bersetubuh” tapi hal itu makna majazi. Suatu lafaz haruslah diartikan dengan makna hakiki.[4]
Qauraish Shihab mengemukakan bahwa setiap nash atau redaksi menggandung dua dalalah (kemungkinan arti). Bagi pengucapnya, nash tersebut hanya mengandung satu arti saja, yakni yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang disebut dalalah haqiqiyah. Tetapi, bagi para pendengar atau pembaca, dalalah bersifat relatif. Mereka tidak dapat memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat. Yang kedua ini dinamai dalalah nishbiyah.








BAB III
A.    Kesimpulan
Kesimpulan bahwa penyeragaman qira’at Al-Qur’an bukan untuk menegakan Quraisy sebagaimana yang telah dituduhkan sebagai orang, melainkan hanya untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an dan persatuan kaum muslim. Meluasnya wilayah islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan Al-Qur’an diberbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qira’atsehingga lahirnya istilah Qira’at tujuh, Qira’at sepuluh dan empat belas.Karena adanya perbedaan qira’at maka sedikit banyak membawa implikasi hukum yang berbeda pada akhirnya membawa polarisasi dalam masyarakat, namun semua itu bisa teratasi dengan menarik makna kalimat yang hakiki.

B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah yang telah kami buat, kami mengerti bahwa masih banyak terdapat banyak kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari pembaca tetap kami harapkan demi lebih berkualitasnya makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.







DAFTAR PUSTAKA

Athaillah. 2010. Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fathoni, Ahmad. 1992. Kaidah Qiraat Tujuh. Bandung: Gema Risalah Press
Halimuddin. 1992. Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta
Shihab, Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan
Syadali, Ahmad dan Rofi’i Ahmad. 1997. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV Pustaka Setia





[1]Al-Zakarsyi. Op.Cit., hal. 326.
[2]Hasanuddin Af. Op.Cit., hal 206
[3]M.Ali Al-Sabuni, Op.Cit., hal. 301-302
[4]Imam muhammad al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz IX (Kairo: Dar al-Fakr, t,th),
   Hal. 115. Bandingan dengan Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Mahasin
   al-Ta’wil, Juz V (Mesir: Isa al-Babi al-Habibi, 1957), hal. 1257

Tidak ada komentar:

Posting Komentar