MEMAHAMI
QIRO’AT DALAM AL-QUR’AN
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
kuliah : Ulumul Qur’an
Dosen
Pengampu : Dr. H. Hamdani
Mu’in, M.Ag
Disusun
Oleh :
1.
Muhamad Khoirus S. 1403026045
2.
Fita Wahyu Rosyidah 1403026070
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai macam nikmat sehingga aktivitas
yang kita jalani selama ini akan selalu membawa keberkahan baik kehidupan di
alam dunia ini, lebih-lebih
lagi kehidupan di akhirat kelak, sehingga semua cita-cita serta harapan yang
ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh manfaat.
Terimakasih
sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada dosen
serta teman- teman yang telah membantu baik bantuan berupa moril maupun materil
sehingga makalah ini terselesaikan pada waktu yang telah di tentukan.
Kami
menyadari sekali di dalam makalah ini masih banyak kekurangan dan masih jauh
dari kata sempurna, baik dari segi bahasa maupun dalam hal pengkonsolidasian
kepada dosen dan teman-teman yang kadangkala hanya menuruti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami jika
ada kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah kami ini di
lain waktu.
Harapan
yang paling besar dalam pembuatan makalah kami ini adalah mudah-mudahan makalah
yang kami susun ini penuh manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman serta orang
lain dan semoga makalah kami ini
sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.
Semarang,10 Maret 2015
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Ulumul
Qur’an telah memberi pengertian bahwa
ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu yang berhubungan dengan Al-Quran,
baik dari segi keberadaannya sebagai Al-Qur’an
maupun dari segi pemahamannya terhadap petunjuk yang terkandung didalamnya.
Jadi, mempelajari Ulumul Qur’anmenuntut
pengetahuan yang lebih mendetail tentang berbagai dimensi pembentukan dan
pendukung kehidupan
itu sendiri. Upaya pemahaman dengan memulai dari pemahaman tentang dimensi
tertentu, bukan berarti melupakan keseluruhan tubuh tersebut.Ia akan mendukung
pemahaman secara keseluruhan terhadap totalitas sesuatu yang saling menunjang
dalam kerangka menemukan jaringan-jaringan antar dimensi.
Penyusunan makalah ini selain memenuhi tugas
dalam pembahasan materi Ulumul Qur’an, juga diharapkan mampu memberi kesegaran
dalam pembahasan materi, yang minimal dikuasai oleh mahasiswa.
Akhirnya, semoga apa yang tersaji dalam
makalah ini memberi manfaat bagi kita semua, paling tidak sebagai khazanah
intelektual di negeri ini.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah munculnya Qira’at ?
2. Apa yang dimaksud Qira’at sab’ah dan
lainnya ?
3. Bagaimana Implikasi Qira’at ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui sejarah munculnya Qira’at
2. Mengetahui Qira’at sab’ah dan lainnya
3. Mengetahui Implikasi Qira’at
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Munculnya Qira’at
Qira’at adalah
bentuk jamak dari qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan.Secara
istilah, Al-Zarqani mengemukakan definisi Qira’at sebagai berikut :
مَدْهَبٌ يَدْ هَبُ
اِلَيْهِ اِمَامٌ مِنْ اَئِمَّةِ الْقُرَّاءِ مُخَالِفًا بِهِ غَيْرَهُ فِى
النُّطْقِ بِالْقُرْاَنِ الْكَرِيْمِ مَعَ اتِّفَاقِ الرِّوَيَاتِ وَالطُّرُقِ
عَنْهُ سَوَاءٌ كَا نَتْ هَذِهِ الْمُخَا لَفَةُ فِى نُطْقِ الْحُرُوْفِ اَمْ فِى
نُطْقِ هَيْئَا تِهَا
“ Suatu mazhab yang di anut oleh seorang iman qira’at yang
berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an Al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat
dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf
maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya “
Defisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama menyangkut bacaan
ayat-ayat dalam Al-Qur’an, karena perbedaan dari satu imam dengan imam lainnya.
Kedua cara bacaan yang dianut dalam satu mazhab qira’at didasarkan atas riwayat
dan bukan atas qiyas dan ijtihad. Ketiga perbedaan antara qira’at bisa terjadi
dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapanya dalam berbagai keadaan.
Bangsa arab yang terdiri dari beberapa macam kabilah, secara garias
besar terdiri dari dua kelompok yaitu yang berada di pedesaan (baduwi) dan
perkotaan. Dua kelompok kabilah besar ini mempunyai dialek yang berbeda. Dalam
kondisi itulah Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Menghadapi hal
ini. Nabi saw. Meminta kepada Allah supaya meringankan membaca Al-Qur’an. Lalu
turunlah hadits “ al-Ahruf as-sab’ah ”
انّ هذا القران أنزل
على سبعة أحرف فاقرأوا ما تيسر منه
"
Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah apa yang mudah darinya “
Dengan
peringatan ini Nabi mengajar Al-Qur’an kepada para sahabat dengan berbagai
macam versi tersebut. Pada masa sahabat munculah ahli baca Al-Qur’an yang
masyhur yang menjadi panutan masyarakat, tokoh-tokoh tersbut antara lain : Ubay
bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud dan Abu Musa
Al-Asy’ari. Merekalah yang menjadi sumber bacaan bagi sebagian sahabat dan
tabi’an.
Kemudian pada masa
tabi’in, segolongan masyarakat mengkhususkan diri dalam penentuan bacaan Al-Qur’an.
Mereka menjadikan qira’at sebagai disiplin ilmu tersendiri, sebagaimana mereka
lakukan terhadap syariat yang lain. Pada akhirnya mereka menjadi imam-imam
qira’at yang dianut oleh banyak kalangan. Menghadapi masalah ini akhirnya pada
akhir abad kedua hijriah, para ulama ahli Al-Qur’an melakukan kegiatan
menyeleksi dan menguji kebenaran qira’at yang diakui sebagai bacaan Al-Qur’an.
Pengujian tersebut dilakukan dengan memakai kaidah dan kriteria yang telah
disepakati oleh ahli qir’at.
Suatu qira’at
baru dianggap shahih apabila memenuhi tiga persaratan :
1. Harus mempunyai sanad yang mutawatir
2. Harus cocok dengan Rasm Utsman
3. Harus cocok dengan kaidah bahasa arab
Dari pengujian yang
dilakukan oleh pakar qira’at, diputuskan bahwa suatu qira’at bila ditinjau dari
segi nilai sanad-nya akan terbagai menjadi enam tingkatan :
1. Mutawatir yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh
sejumlah perawi yang cukup banyak pada setiap tingkatan dari awal sampai akhir
dan tersambung sampai Rasulullah saw.
2. Masyhur yaitu qira’at yang mempunyai sanad
yang shahih, tetapi jumlah perawinya tidak sebanyak mutawatir.
3. Ahad yaitu qira’at yang mempunyai sanad yang
shahih tetapi tidak cocok dengan Rasm Utsmani.
4. Syad yaitu qira’at yang tidak mempunyai sanad
yang shahih atau tidak memenuhi tiga syarat sah untuk diterima.
5. Mudraj yaitu qira’at yang disisipkan kedalam
Al-Qur’an.
6. Maudlu yaitu qira’at buatan yakni disandarkan
kepada seseorang tanpa sadar, serta tidak mempunyai sanad dan rawi.
Dalam rangka
memberi penghargaan kepada tujuh imam qira’at dan untuk memudahkan ingatan,
maka nama-nama mereka diabadikan sebagi nama suatu bacaan seperti Qira’at Nafi’
dan sebagainya :
Ketujuh nama tersebut :
1. Madinah, Imam Nafi’ bin Abi Nu’aim (w. 169 H)
2. Makkah, Imam Abdullah bin Kastir (w. 120 H)
3. Bashrah, Imam Abu Amr bin Al-‘Ala (w. 254 H)
4. Syam, Imam Abdullah bin Amir (w. 118 H)
5. Kufah, Imam ‘Ashim bin Abin Najud (w. 127 H)
6. Kufah, Imam hamzah bin Habib (w. 154 H)
7. Kufah, Imam Ali Al-Kisa’a (w. 189 H0)
Berangkat dari
hal diatas, ilmu qira’at akhirnya mampu berkembang ke masyarakat. Perkembangan
tersebut tidak lepas dari perjuangan para ulama qira’at yang
keilmuanya dapat dipertanggung jawabkan. Mereka itulalah yang akhirnya dipilih
sebagai ahli qira’at dan bacaannya terabadikan hingga saat ini yang disebut qira’at
sab’ah, qira’at ‘asyr dan arba’ah asyr.
B.
Qira’at Sab’ah dan lainnya
Qira’at mungkin
terlintas dalam benak orang tentang qira’at itu ada tujuh. Orang memahami sabda
nabi yang berbunyi “ Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf “. Artinya tujuh
bentuk bahasa yang berbeda-beda dalam Al-Qur’an. Umar bin khatab pernah
mengatakan, “ Al-Qur’an itu diturunkan dalam bahasa madhar “. Bilamana kita
kembali menghitung kabilah-kabilah Madhar, maka disini kita dapati tujuh
kabilah yaitu : Huzail, Kinanah, Qis, Dhabah, Taimuribah, Asad bin Khuzaimah
dan Quraisy.
Perbedaan yang
terdapat pada taip-tiap bahasa itu tidak menjadi halangan. Rasulullah sendiri
yang memberitahukan ketujuh bahasa ini
terdapat dalam Al-Quran namun pemberitahuan ini tidak di perinci. Yang merinci
itu ialah para mujtahidin-mujtahidin dalam ijtihatnya.
Orang Quraisy
membaca Al-Qur’an dengan bahasanya, dan yang lain pula menggunakan bahasanya
sendiri. Abu Syamah mengatakan apa yang dikutipnya dari beberapa Syah, katanya
Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Quraisy. Kemudian diperbolehkan bagi
orang arab membaca dengan bahasanya sendiri-sendiri.
Kebanyakan orang mengatakan, asal-usul kabilah
arab terhenti pada tujuh. Bahasa yang fasih hanya tujuh. Ada pula yang
mengatakan “ pada hakikatnya yang dimaksud dengan tujuh itu bukan bilangan “.
Tapi yang dimaksud disini adalah kelapangan dan kemudahan. Karena tidak ada
kesulitan bagi orang dalam membaca dengan bahasa apapun yang digunakan. Sebab
dalam hal ini Allah sendiri yang mengizinkannya
Meluasnya
wilayah islam dan menyebarnya para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan Al-Qur’an
diberbagai kota menyebabkan timbulnya berbagai macam qira’at. Perbedaaan antara
satu qira’at dan lainya bertambah besar sehingga sebagian riwayatnya sudah
tidak dapat lagi dipertanggung jawabkan. Para ulama menulis qira’qt-qira’at ini
dan sebagainya menjadi masyhur sehingga lahirnya istilah Qira’at tujuh,
Qira’at sepuluh dan empat belas.
“Qira’at tujuh”
adalah qira’at yang dibangsakan kepada tujuh orang imam qira’at yang masyhur
yaitu : Nafi’ Al-Madani (w. 169 H), Ibnu Katsir Al-Maliki (w. 120 H), Abu Amr
bin Al-Ala’ dan Ibnu Amir Al-Dimisyqi (w. 118 H), Ashim bin Abi Al-Nujud
Al-Kufi (w.127 H), Hamzah bin Habib Al-Zayyat (w. 156 H), dan Al-Kisai (w. 189
H). “Qira’at sepuluh”adalah qira’at yang tujuh ini ditambah dengan Abu Ja’far
(w. 130 H), Ya’qub Al-Hadhrami (w. 205 H), Khalaf bin Hisyam Al-Bazzar (w. 299H).
Sedangkan “Qira’at empat belas” adalah qira’at yanf sepuluh ditambah dengan
Ibnu Muhaisin (w. 123 H), Al-Yazidi (w. 202 H), Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H)
dan Al-Amsy (w. 148 H). “Qira’at syadzdzah” namun bacaan ini asing dan tidak
umum.
C.
Implikasi Qira’at
Dalam konteks
perbedaan qira’at harus diletakan pada pembelajaran manusia agar mampu learning to live together. Karena adanya perbedaan qira’at maka sedikit
banyak membawa implikasi hukum yang berbeda pada akhirnya membawa polarisasi
dalam masyarakat. Dalam hal ini Al-Zakarsyi[1]
bahwa dengan perbedaan qira’at muncullah perbedaan dalam hukum. Seperti halnya
hukum batal dan tidaknya wudhu orang yang disentuh (bukan mahram) atas dasar
qira’at “kamu sentuh“ لمستم
dan “kamu saling menyentuh” لامستم
(Qs. An-Nisa 43).
Menurut Ibnu
Mujahid,bahwa Ibn kasir, Nafi’, ‘Ashim, Abu Amr dan Ibn ‘Amr membacanya لامستم النساء sedangkan Hamzah dan Al-Kisa’i membacanya
dengan لمستم النساء.[2]
Dalam I’rabul Qur’an di jelaskan bahwa لمستم النساء ada tiga macam pendapat ulama tentang
maknanya yaitu : hubungan seksual, bersetubuh, bersetubuh dan berhubungan
seksual.
Menurut mazhab
hanafi dan Maliki bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang tidak muhrim
tidak membatalkan wudhu. Sebab menurut Hanafi
لامستمberarti hubungan seksual dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai
dengan nafsu birahi.
Menurut mazhab
Syafi’i bersentuh akan membatalkan wudhu baik yang menyentuh atau yang
disentuh.[3]
Dalam Mafatih
Al-Ghaib disebutkan, menurut Ibn Abbas, Al-Hassan, Mujahid, Qatadah dan Abu
Hanifa bahwa yanhg dimaksud لامستم adalah hubungan seksual. Sedangkan Ibn
Mas’ud, Ibn Umar, Al-Nakha’i dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud adalah
bersentuh kulit baik dalam bersetubuh maupun dalam bentuk lainnya. Al-Razi
menguatkan pendapat terakhir, karena makna hakiki dari لمس
adalah menyentuh dengan tangan. Sekalipun menurut Al-Qasimy dapat artikan
“bersetubuh” tapi hal itu makna majazi. Suatu lafaz haruslah diartikan dengan
makna hakiki.[4]
Qauraish Shihab
mengemukakan bahwa setiap nash atau redaksi menggandung dua dalalah
(kemungkinan arti). Bagi pengucapnya, nash tersebut hanya mengandung satu arti
saja, yakni yang dimaksudkan olehnya. Inilah yang disebut dalalah haqiqiyah.
Tetapi, bagi para pendengar atau pembaca, dalalah bersifat relatif. Mereka
tidak dapat memastikan maksud pembicara. Pemahaman mereka terhadap nash
tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Mereka dapat berbeda pendapat. Yang kedua
ini dinamai dalalah nishbiyah.
BAB III
A. Kesimpulan
Kesimpulan
bahwa penyeragaman qira’at Al-Qur’an bukan untuk menegakan Quraisy sebagaimana
yang telah dituduhkan sebagai orang, melainkan hanya untuk menjaga otentisitas
Al-Qur’an dan persatuan kaum muslim. Meluasnya wilayah islam dan menyebarnya
para sahabat dan tabi’in yang mengajarkan Al-Qur’an diberbagai kota menyebabkan
timbulnya berbagai macam qira’atsehingga lahirnya istilah Qira’at tujuh, Qira’at
sepuluh dan empat belas.Karena adanya perbedaan qira’at maka sedikit banyak
membawa implikasi hukum yang berbeda pada akhirnya membawa polarisasi dalam
masyarakat, namun semua itu bisa teratasi dengan menarik makna kalimat yang
hakiki.
B.
Kritik dan Saran
Demikian
makalah yang telah kami buat, kami mengerti bahwa masih banyak terdapat banyak
kesalahan. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari pembaca tetap kami harapkan
demi lebih berkualitasnya makalah selanjutnya. Mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Athaillah. 2010. Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fathoni, Ahmad. 1992. Kaidah Qiraat Tujuh. Bandung: Gema Risalah
Press
Halimuddin. 1992. Sejarah Al-Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta
Shihab, Quraish. 1992. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan
Syadali, Ahmad
dan Rofi’i Ahmad. 1997. Ulumul Qur’an I. Bandung: CV Pustaka Setia
[1]Al-Zakarsyi. Op.Cit., hal. 326.
[2]Hasanuddin Af. Op.Cit., hal 206
[3]M.Ali Al-Sabuni, Op.Cit., hal. 301-302
[4]Imam muhammad al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz IX
(Kairo: Dar al-Fakr, t,th),
Hal. 115. Bandingan dengan Muhammad Jamal
al-Din al-Qasimi, Mahasin
al-Ta’wil, Juz V (Mesir: Isa al-Babi
al-Habibi, 1957), hal. 1257
Tidak ada komentar:
Posting Komentar